Thursday 31 October 2013

Antara Mimpi, Harapan dan Rasa Syukur

Jamannya sekolah adalah jamannya mimpi, jaman dimana penuh akan cita-cita, impian dan bayangan akan masa depan. Saya pribadi pun mengalami sindrome yang sama, kalau besar nanti mau jadi apa, bagaimana, dan lain sebagainya. Kalau dibilang cita-cita, cita-citaku adalah menjadi Tentara, Kopassus pake baret merah, beeuuuhh... apalagi di jaman dulu itu yang namanya Kopassus kerenlah pokoknya. Masuk SMA, yang namanya jiwa kemiliteran itu makin mengalir, mulai dari masuk ekskul Paskibra hingga Paskibraka dan Pelatihnya pun dijalani. Di SMA mulai berubah haluan, yang dulunya keren dengan Kopassus, ada minat mencoba kedinasan namun di Angkatan Laut, siapa tau bisa jadi Marinir kan... Coba dan coba, tes dan tes di Angkatan Laut akhirnya singkat cerita gugur di tahap akhir daerah, bisa dibayangkanlah itu perasaan galau, gundah gulana, kecewa, kesal campur aduk di hati dan pikiran karena apa? karena dari SMA udah ga ada lagi minat ikut apa itu PMDK, apa itu SMPTN, apa itu Ujian Mandiri di Universitas manapun itu, Swasta bahkan Negeri sekalipunlah, inisiatif daftar aja ga pernah, pokoknya kedinasan jadi tentara aja.

Disamping itu, sebenarnya ada 1 lagi yang juga sedang dijalani, yaitu ikut beasiswa kuliah di Universitas Bunda Mulia melalui sebuah yayasan milik Kementerian Pertahanan, yaa karena beasiswa cuma numpang badan aja, ikutan deh, itung-itung uji kemampuan pas tes nya.  Nama kampusnya aja ga pernah denger, apalagi tau kampusnya. Pernah waktu itu tes di Kampus tsb bentrok dgn tes di Angkatan Laut, mau gamau harus pilihlah, yaa jelaslaah pilih Angkatan Laut, hehee... Ternyata tes di kampus bisa nyusul, cuma tes nya sendirian, it's ok lah...

Setelah tes akademik, wawancara, psikologi di Yayasan dan lulus, beberapa diarahkan ke UBM untuk tes selanjutnya (sebenarnya ada 2 kampus UBM dan UPN, cuma diarahkan ke UBM yaa take it lah...). Karena bentrok dengan tes di AL, maka mau ga mau tes di UBM sendirian, eh pas wawancara, saya lihat ternyata udah ada hasil pengumuman 7 orang yang lulus dari puluhan yang tes (beasiswa utama dengan jatah 5 sebenarnya, tp krn bagus2 ditambah kali), dalam hati "terus kenapa gue harus ikut tes dan wawancara lagi kalau udah ada hasil 7 orang yang lulus"? cuma gatau kenapa didalam hati itu ada yang bilang, "udah jangan takut, tidak ada usaha yang sia-sia".

Beberapa minggu menunggu hasil, karena emang cuma itu aja udah yang diharapakan, Angakatan Laut udah gugur, SMPTN ga ngikut, Swasta? wuaaahh saya pribadi bukan nya ga minat, tapi mikir biayanya yang aduhai mahal sebenarnya, Kakak kuliah, adek 2 SMA, mikir begitu mengurungkan niat untuk masuk2 kuliah, negeri sekalipun, karena swasta negeri ga ada bedanya sebenarnya, sama-sama keluar uang dan itu ga dikit.

 Ya memang Tuhan punya rencana, akhirnya saya kuliah di UBM. Tahun pertama itu males banget, yaa bisa dikatakan ga bersyukur udah dikasi kuliah tapi malas-malasan, alhasil 2 tahun kuliah itu IP cuma mentok di angka 3 aja udah, koma nya cuma 1 paling besar, soalnya kalau dibawah 3 langsung keluar atau bayar sendiri, hehee... itulah betapa tidak bersyukurnya diri ini, karena merasa "This is not what I want". Akhirnya dua tahun kuliah, saya memutuskan untuk coba di kedinasan lagi, tapi coba Angkatan Daratnya. Itupun tes nya diam-diam jangan ketauan yayasan, soalnya ga enak. hehee... tapi jangankan yayasan, bokap aja gatau gue tes AD, yaa walaupun ujung-ujungnya ketauan juga pas mau Pantukhir Daerah. Sebenarnya bukannya gamau kasitau, cuma mau membuktikan kalau saya mampu, karena tidak bisa kita pungkiri yang namanya unsur masuk TNI itu, unsur KKN sangat kental sekali, dan itu benar juga terjadi pada saya.

Tes dan tes, dengan persiapan yang apa adanya saya lulus bahkan di tes psikologi saya boleh berbangga hati karena termasuk rangking 20 besar dari sekitar 260 yang masi tersisa. hehehe... Beratnya, itu tes pas bentrok sama UAS, wuuaahh banyak strategi diatur gmn caranya UAS jgn ketinggalan, jangan sampai itu ga dapat ini ga dapat, diam2 setelah tes pinjam motor orang Kodam Jaya buat ke Ancol cuma untuk UAS, UAS buru2 karena di sms in teman tes mau mulai, ngebut lagi ke daerah Cawang, itu bolak balik selama tes kurang lebih 2 minggu, tapi Puji Tuhan semua bisa dilewati tanpa ada yang harus dikorbankan. ^_^

Sampai di tahap akhir daerah, singkat cerita saya pun ga lulus lagi ^_^. Tapi dalam proses banyak sekali rasa kecewa yang dialami, mulai dari peserta yang sudah gugur ikut tes lagi, dimintai uang (ratusan juta), digugurkan karena kesehatan (pas cek di 2 rumah sakit Kemhan dan RSPAD setelah pengumuman saya tdak lulus, ternyata hasilnya sehat), yang rangkingnya dibawah bisa lulus dan lanjut, dll sebagainya membuat kesaaaalllLLLLLLLLLLLLLLLLLLL sebenarnya,... hahahaa... bahkan teman orang tua yang tau kejadian itu mengusulkan dan mengarahkan untuk mendatangi ini itu (karena ortu di Kemhan yang berhubungan dengan kemiliteran tentunya) agar bisa diikutkan dll sebagainya, cuma kata hati bilang tidak usah dan stop, cukup, mungkin rejeki ku bukan disini, mungkin Tuhan memberikan tanda lebih dari itu ada yang lebih besar. Alhasil setelah kejadian ini saya komitmen fokus kuliah (baru disini kuliah bener, di semester 5 ^_^), setelah komit fokus kuliah, yaaa ada perubahanlah, kejar IPK tentunya, hahaaa... walaupun diujung kuliah IPK ga terlalu tinggi apalagi cumlaude, hehee, tapi bukan IPK yang menentukan berhasil tidaknya saya.

Nah setelah lulus bingung lagi, hahaa, biasa masalah kerjaan. Tapi Tuhan sangatlah baik, terlebih pada saya, ga lama saya kerja di bidang otomotif, setelah itu belum ada setahun dapat kerja baru lagi di salah satu perusahaan swasta grup terbesar di Indonesia hehehehe... dan saya menyadari kalau cerita hidup itu penuh warna, sebenarnya kitalah yang memilih warna apa yang pantas untuk hidup kita, kita sendiri kok yang mewarnai hidup kita...

Hidup itu dibungkus oleh banyak lapisan, ada kalanya kita hanya mampu melihat lapisan luarnya saja tanpa tau isi didalamnya. Banyak masalah bila dikeluhkan ga ada ujungnya, menikmati yang ada sebagai berkat terindah dan bersyukur, yaa setidaknya rasa syukur mampu mengurangi beban di pundaklah.

Sehingga ada salah satu prinsip yang saya yakini, kalau orang baik akan mendapat yang baik...
Like a Song,...
 "Que sera, sera, Whatever will be, will be;
The future's not ours to see. Que sera, sera, What will be, will be."


Terjadilah apa yang seharusnya terjadi, karena kita tak tau masa depan itu seperti apa. Rasa Syukur, Syukurr, dan Syukurrr membuat mimpi dan harapan itu lebih dari yang kita bayangkan. Ada makna yang lebih yang disediakan Tuhan di proses itu semua yang tanpa kita sadari meningkatkan kualitas hidup kita. 


Bersyukur itu mudah disaat keadaan baik-baik saja, Tapi, apakah kita masih mampu bersyukur disaat pertolongan Tuhan tak kunjung datang?
Biasanya ekspresi Emosilah yang lebih dulu hadir di hati dan pikiran kita.
 

Masalah dalam Hidup itu bagaikan Air Mendidih. Namun di setiap masalah, selalu tersimpan Mutiara Iman yang Berharga.

Friday 18 October 2013

Cinta dalam Ruang Kehidupan yang Luas

Cinta itu memiliki banyak makna, hampir semua insan manusia memahami dan mengetahui bagaimana dan apa itu Cinta. Cinta itu sudah sepaket di ciptakan Tuhan dalam diri manusia, tinggal manusia yang mengolahnya.

Cinta identik dengan Kasih, ketika kita mencintai ada sesuatu yang kita berikan, memberi sesuatu yang tanpa syarat namun sangat berharga, ada yang kita beri dari dalam diri kita.

Dalam hidup, Cinta itu luas, karena ia bekerja dalam ruang kehidupan yang sangatlah luas dan tak terbatas. Inti pekerjaannya adalah memberi, memberi suatu yang bernilai, mengandung sesuatu yang baik dan positif. Memberi apa saja yang diperlukan oleh orang-orang yang kita sayang, cintai dan kasihi tanpa harus ditukarkan ataupun dibeli. Memberi sesuatu yang berharga untuk orang-orang yang kita kasihi untuk tumbuh menjadi lebih baik dan berbahagia karenanya.

Cinta itu Memberi, Memberi dengan hati yang ikhlas dan tulus. Memberi sangat erat hubungannya dengan Cinta, Ia pun mengetahui apakah pekerjaannya didasari oleh Cinta atau keterpaksaan. Bila ia melakukan pekerjaannya dengan keterpaksaan, biasanya Ia tidak mengijinkan Cinta masuk dan turut campur dalam pekerjaannya, dan membiarkan dirinya menanggung segala resiko, malu dan siap dalam segala kesan negatif yang muncul karenanya.

Cinta dalam ruang kehidupan yang luas mampu menembus dinding berlapiskan kesan negatif. Sakit hati, kecewa, cemburu, benci, dendam, dan kecewa pun tak mampu menolak kedatangannya apabila ia masuk dan menggantikan posisinya.

Sekuntum bunga tidak memerlukan mahkota yang indah agar burung/lebah datang kepadanya. Bahkan ketika mentari datang menyinari dan memperlihatkan keindahan bunga, bagi burung/lebah keindahannya tidak lebih penting, karena baginya bunga lebih dari itu, karena bunga sudah memberi yang dibutuhkan sekalipun tidak memperlihatkan keindahannya. Bagi burung/lebah bunga lebih dari sekedar keindahan, bagi burung/lebah bunga adalah nafas kehidupan, sekalipun bunga tidak mengetahui kalau ia adalah nafas bagi burung/lebah. 

Bunga memberi apa yang dia miliki agar yang datang padanya tumbuh dan berbahagia karenanya. Pemberian yang baik pun menghasilkan anugerah. Anugerah bagi Bunga karena benang sari dan putik dapat bertemu oleh karena hadirnya burung/lebah.

Cinta itu Memberi. Dengan memberi, kita mau menjadi bagian dari hidup sesama kita.

Monday 23 September 2013

KAPALA NAGARI - Tawaran Giur Belanda di Tanah Batak

Kapala Nagari bisa juga dikatakan Kepala Pemerintahan, Kepala Wilayah dan lain sebagainya yang memiliki makna memiliki wewenang dan kuasa atas suatu komunitas/lingkungan/kenegerian dll. 

Dengan menjadi Kapala Nagari, tentu banyak hal yang bisa diatur, diarahkan, dikuasai atas dasar wewenang titel dan jabatan Kapala Nagari. Kapala Nagari sendiri baru ada di jaman Belanda tiba di Tanah Batak, tawaran yang menggiurkan Belanda menjadi daya tarik tersendiri bagi para Raja Bius atau Raja Huta. Bukan hanya Raja Bius dan Raja Huta, mereka yang bukan Raja Bius dan Raja Huta pun tertarik dengan tawaran Belanda tersebut, dengan berbagai cara tentu muncul pertanyaan bagaimana caranya bisa memperoleh keuntungan yang ditawarkan Belanda tersebut. 

Di Samosir sendiri, Belanda datang ke tanah Pangururan. Pangururan dipilih menjadi tempat singgah Belanda dikarenakan Pangururan merupakan wilayah yang lebih dulu maju, baik dari segi banyaknya penduduk dan wilayahnya yang bukan lagi hanya rawa-rawa saja, melainkan sudah mulai terstruktur dengan baik dan memiliki tanah yang datar. 

Di tahun 1860 an, Belanda sudah memasuki tanah Batak, bukan hanya Belanda, sebelumnya bangsa Eropa juga sudah memasuki tanah Batak. 

Jabatan Kapala Nagari ternyata merusak tatanan budaya bangsa Batak. Dengan masuknya Belanda dan iming-iming Kapala Nagari kepada tiap-tiap Raja Bius/Raja Huta maupun bukan Raja Bius/Raja Huta menginginkan titel Kapala Nagari. Banyak keuntungan mereka yang telah menjadi Kapala Nagari, selain diberikan ilmu dalam membaca, menulis, pengetahuan teknologi, pengetahuan ekonomi, bercocok tanam yang baik, keterampilan dan lain-lainnya. Untuk itulah tidak pernah terjadi peperangan di wilayah Samosir terutama Pangururan antara masyarakat dengan Belanda, namun ada juga Raja Bius/Raja Huta yang menolak Belanda, akan tetapi melihat beberapa pihak mendukung, pihak yang menolak tidak memiliki reaksi apapun atau melaksanakan perang.

Belanda tiba di Pangururan, Pangururan yang merupakan wilayah Bius Sitolu Tupuk antara Sitanggang, Simbolon dan Naibaho. Sitanggang memiliki bius paling luas diantara Naibaho dan Simbolon, padahal Sitanggang adalah hela dari Naibaho bila dilihat dari leluhur diatas namun Sitanggang yang memiliki bius paling luas. Ada juga yang mengatakan itu karena Sitanggang menikahi boru siakkangan Naibaho, sehingga memperoleh bius paling besar dari Naibaho. Melihat hal tersebut, Belanda memanfaatkan keadaan, ditambah turi-turian leluhur dimana dalam parpariban Sitanggang dan Simbolon telah membudaya hingga turun temurun dimana siakkangan di pomparan Simbolon yaitu Tuan Rading Nabolon anak Tuan Nahoda Raja cucu dari Suri Raja dan Simbolon Tua menikahi boru Naibaho yang merupakan adik ipar dari Sitanggang yang juga menikahi boru Naibaho. Melihat abang sulungnya marabang, adik-adiknya mengikuti hal tersebut dan hal ini terus membudaya di Pangururan, ditambah kata-kata damai tulang Naibaho rap marsihahaan rap marsianggian, untuk itu hingga saat ini di Pangururan siapa yang lebih dulu lahir, dialah siabangan (lebih lengkap lihat artikel RAJA NAIAMBATON (Tuan Sorba Dijulu - Ompu Raja Nabolon). 

Kembali pada Kapala Nagari, melihat wilayah Sitanggang lebih besar dibandingkan yang lainnya, Belanda mendekati marga-marga Sitanggang dan mencari Raja Jolo dari marga Sitanggang (yang biasanya adalah Raja Huta/Raja Bius/yang dituakan), setelah bertemu Belanda mengadakan pertemuan di Pangururan dan mengundang para Raja Bius/Raja Huta masing-masing wilayah di wilayah Samosir. Undangan ini menjadi kontroversi, ada yang menolak ada juga yang merespon dengan baik, namun disinilah dimulai terjadi perubahan secara signifikan di orang Batak terutama di wilayah Samosir yang notabene menjadi wilayah kediaman marga-marga Parna.

Di hari yang ditentukan, di Pangururan datanglah para Raja Bius/Raja Huta dari wilayah Samosir, ada yang datang, ada yang menolak, Raja Bius/Raja Huta satu marga menolak datang namun diam-diam sang adik menghadiri undangan tersebut, ada yang tidak diundangn namun turut hadir karena keuntungan yang ditawarkan, mereka yang menolak adalah mereka yang tidak ingin dibodohi, karena mereka tahu tujuan Belanda datang ke Samosir adalah memperluas wilayah pertahanan dan membuat benteng di tiap-tiap wilayah, karena di Tapanuli Belanda tidak diterima dengan baik seperti diterima di Pangururan, sehingga dengan berbagai akal Belanda mencari siasat baru untuk memperluas wilayah.

Lalu diberilah Sitanggang jabatan Kapala Nagari di wilayah Pangururan, dengan gelar Raja Pangururan, Sidauruk menjadi Kapala Nagari di Simanindo, Manihuruk menjadi Kapala Nagari di lumban suhi-suhi, dan lain sebagainya seperti di wilayah Tomok juga beberapa wilayah lainnya. Karena mereka-mereka yang hadir diberi jabatan, ilmu, pengetahuan dan lain-lain mengikat para Kapala-Kapala Nagari menjadi lebih erat hubungannya, seperti hata na ringkot 'jonok dongan partubu, unjonok dongan parhundul'. Dengan kedekatan dan kesamaan jabatan, mereka menjadi lebih dekat dibandingkan abang adiknya yang lebih kandung. Dengan adanya Kapala Nagari membuat tatanan budaya Batak menjadi berantakan, partuturan, tarombo, dll. 

Di Tapanuli sendiri Belanda tidak bisa masuk langgeng seperti mereka masuk ke Pangururan, ini dibuktikan dari sebuah artikel yang berisi "Sebelum Sisingamangaraja XII gugur, ia sempat ditawari untuk diangkat sebagai Sultan atas Tanah Batak oleh Gubernur Belanda Van Daalen. Bahkan Sang Gubernur sendiri berjanji akan menyambut kehadirannya dengan seremonial tembakan meriam 21 kali. Akan tetapi, Sisingamangaraja XII menolaknya bahkan semakin gencar melakukan perlawanan." 

Dapat kita lihat cara Belanda mendekati Raja Sisingamangaraja dengan memberikan jabatan Sultan atas Tanah Batak, namun ditolak. Lain dengan di Samosir terutama Pangururan yang dengan mudah masuk dan memberikan jabatan-jabatan yang menggiurkan. Ini terlihat dari sebuah artikel yang berisi 'Daerah Batak Samosir menjadi salah satu bagian dari 5 (lima) onderafdeling pada Afdeling Bataklanden, yaitu Onderafdeling Samosir yang beribukota di PangururanOnderafdeling Samosir dipimpin oleh seorang Controleur van Samosir.'

Artikel diatas menunjukkan dan membuktikan kebenaran Kapala Nagari yang mudah disusupi Belanda di Tanah Pangururan, namun tidak ada yang tahu siapa Controleur van Samosir yang dimaksud diatas, mungkin saja Kapala Nagari di Pangururan yang mungkin adalah salah satu marga yang memiliki wilayah kuasa paling besar di Pangururan, tidak ada yang tahu.

Namun satu hal positif dari adanya Kapala Nagari adalah kemajuan bangsa Batak di tiap-tiap Marga walaupun tidak merata di semua Marga. Bangsa Batak boleh berbangga karena bisa tampil di jajaran pejabat di Indonesia, itu adalah hasil positif dari adanya keuntungan terutama dari segi ilmu, pengetahuan yang diperoleh dari Belanda. Bagi Parna sendiri, itu dapat dilihat dari kemajuan Marga Simbolon, Sitanggang yang lebih dulu maju dan dapat tampil dan menduduki jabatan-jabatan strategis di wilayah Indonesia baik di Pemerintahan maupun di perusahaan Swasta. Namun karena kemajuan teknologi, sudah ada marga Parna yang lain yang sudah maju walaupun tidak sebanyak marga Simbolon dan Sitanggang, seperti Prof. Radja Pingkir Sidabutar, Prof. Arifin Sitio, Jenderal Siallagan, Jenderal Sidabutar, Jenderal Rumahorbo dll. Namun satu hal yang perlu diketahui, mereka yang maju adalah mereka yang sudah keluar merantau dari tanah Samosir dan beradu nasib dan mengenyam pendidikan yang baik di luar Samosir.

Sidauruk-Manihuruk bukan dari Sitanggang (Silo) (Opini Penulis)

Ada versi yang mengatakan Sidauruk dan Manihuruk bukanlah dari Sitanggang, melainkan dari Tamba Tua. Sidauruk dan Manihuruk menjadi marga manjae Sitanggang adalah karena mereka sama-sama Kapala Nagari, karena kehidupan yang lebih dekat akhirnya membuat filosofi silsilah Sidauruk dan Manihuruk menjadi marga manjae Sitanggang. Karena kedekatan mereka, posisi Sidauruk dan Manihuruk menjadi bungsu di silsilah Sitanggang. Mengapa bungsu...? bila kita mengangkat anak atau saudara, tentu anak/saudara tersebut akan menjadi bungsu di keluarga kita bukan...?? sama seperti bila kita menikah dengan boru Jawa, dan boru Jawa tersebut diberi marga dari ibu kita, posisi boru Jawa (istri kita) tersebut adalah bungsu dari boru tulang kita bukan? Sama seperti Gusar, yang diangkat Raja Sitempang II menjadi anak, dan menjadi bungsu Raja Sitempang II dan menjadi adik Sitanggang Bau.

Apabila kembali pada tatanan budaya Batak, dalam versi Tamba Tua, bila kita mengunjungi huta Tamba di Kec. Sitio-tio, akan dapat kita temukan Golat dan warisan Ompung Tamba Tua kepada Sidauruk dan Manihuruk. Untuk itu dalam silsilah Tamba Tua, yang pergi dari huta Tamba adalah Sidauruk dan yang tinggal di huta Tamba adalah marga Tamba, yaitu Tamba Sidauruk, keturunan Lumban Toruan, Tuan Raja Diuruk.

tarombo Tamba Tua

Masih ada marga Sidauruk yang mengatakan posisi mereka adalah dari Tamba Tua, namun mayoritas mengatakan memang dari Sitanggang. Untuk Manihuruk, adapun asal-usul Manihuruk adalah keluar dari huta Tamba dan merantau ke Lumban Suhi-suhi, kisah marga Manihuruk sampai ke Lumban Suhi-Suhi hampir mirip dengan kisah Gusar (Sidjabat) yang datang ke Lumban Suhi-suhi, untuk itulah Sitanggang memberikan wilayah Lumban Suhi-Suhi kepada mereka dongan tubu yang diangkat menjadi anak/adik sebagai tempat tinggal dan beranak cucu. Namun untuk Manihuruk sendiri, memang tidak bisa dipungkiri hampir mayoritas mengatakan dari Sitanggang dan penulis pribadi belum pernah mendengar ada yang mengatakan dari Tamba Tua, namun sebelum gencar-gencarnya silsilah Sitanggang yang keluar, Manihuruk selain yang mereka tau berasal dari Sitanggang, induk mereka adalah Munthe Tua, namun seperti halnya Sigalingging yang dalam Munas Nasionalnya mengatakan dari Munthe Tua sekarang ini beralih menjadi dan mengikuti versi Sitanggang, diperkuat dengan adanya rencana Sigalingging mengadakan Re-Munas kembali.

Banyak hal yang terjadi, banyak hal yang merusak, banyak hal yang simpang siur. Tulisan diatas bukanlah benar 100%, hanya analisa dan opini pribadi Penulis berdasarkan pengetahun yang diperoleh dari sumber-sumber dan keterkaitan antara turian, tano parserahan, golat dll. Mohon maaf apabila menyinggung dan terdapat kata-kata yang salah yang tanpa disengaja ^_^.

(Christian Sidabutar)


















RAJA NAIAMBATON (Tuan Sorba Dijulu - Ompu Raja Nabolon)

Raja NaiAmbaton atau yang dikenal dengan nama Tuan Sorba Dijulu adalah salah satu dari 3 keturunan Tuan Sorimangaraja. Tuan Sorba Dijulu merupakan cikal bakal 'parsadaan' marga-marga Batak terbesar dan terbanyak atau yang lebih dikenal dengan keturunan Raja NaiAmbaton atau PARNA.




Raja NaiAmbaton sendiri adalah gelar yang memiliki banyak arti dikalangan masyarakat Batak terutama bagi keturunan NaiAmbaton sendiri. Disatu sisi penempatan kata 'Nai' adalah untuk perempuan, dll. Namun sama halnya dengan anak Tuan Sorimangaraja seperti Tuan Sorimangaraja yang lain seperti Sorba Dijae (NaiRasaon), Tuan Sorba Dibanua (NaiSuanon). Namun satu hal yang perlu ditelaah adalah kesamaan dari 3 nama ini, dari 3 nama diatas, hanya NaiAmbatonlah yang hingga saat ini tabu untuk saling menikahi, tidak seperti keturunan NaiRasaon dan NaiSuanon yang sudah saling 'marsiolian'. Raja dari istrinya yang bernama NaiAmbaton dialah Tuan Sorba Dijulu, Ompu Raja Nabolon. Dengan begitu banyak versi, bukanlah jadi masalah penamaan Raja bagi NaiAmbaton, nama ini sudah ada sebelum saya lahir, banyak kemungkinan bisa terjadi arti dari Raja di penamaan NaiAmbaton, mungkin saja bila keturunan NaiRasaon tidak bisa saling menikahi, bukan tidak mungkin hingga saat ini kita dengar parsadaan Raja NaiRasaon, atau parsadaan Raja NaiSuanon.

Raja NaiAmbaton memiliki 5 orang putra dan 1 orang putri. Namun ke-6 anak-anak Raja NaiAmbaton ini berasal dari 2 orang istri. Mengapa Raja NaiAmbaton memiliki 2 orang istri...??. Dari istrinya yang pertama, setelah menikah Raja NaiAmbaton, istri pertama lama memiliki keturunan, lama menanti akhirnya Raja NaiAmbaton menikah kembali, dan dari pernikahan keduanya lahirlah tanpa waktu yang lama seorang putra pertama bagi Raja NaiAmbaton, diberilah anak tersebut dengan nama Raja Nabolon/Si Bolon Tua. Raja Nabolon memiliki arti tersendiri bagi Tuan Sorba Dijulu, yang merupakan kelak keturunan-keturunannya akan menjadi besar, dan itu terbukti saat ini keturunan Tuan Sorba Dijulu adalah keturunan kumpulan marga-marga terbesar di marga Batak. Sejak setelah itulah Tuan Sorba Dijulu lebih dikenal dengan nama Ompu Raja Nabolon. Kemudian dari istrinya yang kedua kembali lahirlah seorang putri, yang diberi nama Pinta Haomasan. Di satu sisi lama belum memiliki keturunan dari istri pertama, sedangkan dari istri kedua sudah melahirkan 2 orang anak, mengandunglah istri pertama Tuan Sorba Dijulu dan lahirlah seorang putra. Kegembiraan Tuan Sorba Dijulu dan syukur kepada Mulajadi Nabolon yang mengaruniakannya 'hagabeon' dan kelengkapan keturunan dari kedua istrinya serta menghapus kekhawatirannya selama ini. Diberilah anak tersebut dengan nama Tamba Tua, yang memiliki arti bertambah lengkaplah keturunannya, sedangkan kata 'Tua' pun bagi orang Batak memiliki arti yang dalam dan bermakna. Setelah lahirnya Tamba Tua berturut-turut istri pertama Tuan Sorba Dijulu melahirkan kembali 3 orang putra, diberilah nama Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua.

Bagi orang Batak, anak laki-laki sulung adalah si pembawa nama bagi keluarganya. Dan apabila laki-laki menikahi 2 orang perempuan, keturunan dari istri pertamalah 'Raja Jolo' bagi keturunan laki-laki orang Batak tersebut, sekalipun dari istri kedua lebih dahulu memiliki keturunan dari istri pertama. Ini hampir terjadi dihampir semua orang Batak, terlebih orang Batak dulu atau nenek moyang dari masing-masing marga, hampir semua marga mengalami kisah yang sama terkait masalah ini.

Bagi Tuan Sorba Dijulu sendiri, inipun yang menjadi konflik bagi keturunannya. Kelak ketika anak-anak Tuan Sorba Dijulu semakin besar dan semakin mengerti akan adat budaya orang Batak, muncullah tanda tanya didalam pikiran masing-masing. Terlebih apabila Tuan Sorba Dijulu tidak pernah menceritakan, menyelesaikan sebelum anak-anak mereka mempermasalahkannya. 

Terjadilah konflik diantara anak-anak Tuan Sorba Dijulu, terutama diantara sulung dari keturunan istri pertama dan kedua Tuan Sorba Dijulu yaitu antara Bolon Tua dengan Tamba Tua, Bolon Tua yang lahir lebih dulu dari istri kedua Tuan Sorba Dijulu telah dianggap sebagai sulung bagi Tuan Sorba Dijulu, Bolon Tua merupakan kesayangan dari Tuan Sorba Dijulu, kemanapun Tuan Sorba Dijulu pergi selalu mengajak anaknya Bolon Tua baik itu 'marmahan' atau berburu dan lainnya. Tamba Tua yang merasa bahwa dalam adat seharusnya dialah Raja Jolo karena dari istri pertama mempertanyakan hal itu kepada Tuan Sorba Dijulu dan Bolon Tua. Hal ini disadari setelah mereka besar dan paham akan adat budaya Batak, dimana pasti Si Bolon Tua lah yang memperoleh jambar ataupun ulos dll dalam acara adat. Karena perselisihan ini semakin meruncing, maka Tuan Sorba Dijulu dengan caranya menengahi Si Bolon Tua dan Tamba Tua dengan cara 'marultop' adu ultop antara Si Bolon Tua dan Tamba Tua dengan catatan siapa yang berdarah terkena ultop, maka dialah sianggian. Namun sebelum adu marultop itu terjadi, Tuan Sorba Dijulu menumpulkan ultop Tamba Tua dan membuat runcing/tajam ultop (anak panahnya) Si Bolon Tua. Mengapa Tuan Sorba Dijulu melakukan ini...??. Ada banyak kemungkinan, karena dia lebih menyayangi Si Bolon Tua, atau karena Si Bolon Tua adalah awal dari hagabeoni  Tuan Sorba Dijulu, atau karena malu apabila selama ini Tuan Sorba Dijulu dianggap tidak mengerti adat karena selalu Si Bolon Tua lah yang menerima jambar/ulos dll dalam setiap acara, atau mungkin inilah cara yang paling tepat agar keturunannya berdamai, karena apabila Tamba Tua terbukti siakkangan, tentu Saragi Tua, Munthe Tua, Nahampun Tua yang umurnya jauh sekali dari Si Bolon Tua menjadi haha doli Si Bolon Tua, dan itu tentu membuat Si Bolon Tua menjadi sedih atau mungkin marsak atau mungkin pergi meninggalkan atau hal-hal lainnya. Kejadian marultop ini didengar oleh Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua juga Pinta Haomasan. Namun tak disangka, ketika Tuan Sorba Dijulu menumpulkan ultop Tamba Tua dan membuat runcing ultop Si Bolon Tua, hal ini dilihat oleh borunya Pinta Haomasan. Pinta Haomasan melihat semua yang dilakukan ayahandanya Tuan Sorba Dijulu.

Terjadilah adu ultop antara Si Bolon Tua dan Tamba Tua, dimana Tamba Tua lah yang berdarah oleh ultop Si Bolon Tua. Setelah kejadian ini, ditemui Pinta Haomasan lah Tamba Tua, dan memberitahukan kejadian tentang apa yang dilakukan ayah mereka Tuan Sorba Dijulu terhadap ultop Tamba Tua. Lalu, apa alasan Pinta Haomasan memberitahukan hal itu kepada Tamba Tua...?? Bukankah Si Bolon Tua adalah saudara satu rahim ibu dengan Pinta Haomasan dibandingkan Tamba Tua...??. Semenjak kecil, Si Bolon Tua selalu pergi bersama ayahnya, sedangkan Pinta Haomasan bertugas mengurus adik-adiknya yang masih kecil termasuk Tamba Tua. Dalam bahasa Bataknya dipatarus-tarus.

Perlu untuk kita ketahui, kejadian marultop terjadi ketika Si Bolon Tua, Tamba Tua sudah magodang, termasuk Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua. Semenjak muda dan belum menikah, tidak ada permasalahan akan siakkangan, karena sudah menikahlah baru kelihatan adat bagi orang Batak itu. Pembagian jambar, ulos, pasu-pasu, dan yang selalu tampil saat itu selalu Si Bolon Tua, disinilah mereka yang abang beradik itu baru mulai mempermasalahkannya, disaat mereka mulai menyadari makna dan mengerti adat istiadat itu sendiri, ditambah adik-adik Tamba Tua yang juga mulai menyadari dan mengerti, lalu disampaikan pada haha dolinya Tamba Tua untuk mempertegas masalah ini ke Tuan Sorba Dijulu. Jadi ke lima anak Tuan Sorba Dijulu sudah marhasohotan sebelum beberapa anak-anaknya pergi dari Pangururan termasuk borunya si Pinta Haomasan.


Kembali pada cerita sebelumnya, diceritakan Pinta Haomasan lah kepada ibotona Tamba Tua tentang apa yang telah diperbuat ayah mereka Tuan Sorba Dijulu. Tamba Tua merasa kecewa sekali, dan hal ini diceritakanlah kepada adik-adiknya Saragi Tua, Munthe Tua dan Nahampun Tua. Kemudian mereka sepakat untuk meninggalkan Pangururan. Rencana inipun didengar oleh itonya Pinta Haomasan, dengan bersedih hati karena rencana ito-itonya ini, Pinta Haomasan dating kerumah Tamba Tua dan membawa sipanganon lao paborhaton ibotona, sebagai bentuk tanda kasih sayang dan doa. Akhirnya pergilah Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua dari tanah Pangururan dengan perasaan sedih.

Disamping versi tersebut, ada versi lain yang mengatakan namun tidaklah berbeda jauh dari kisah diatas. Dikisahkan tidak sampai terjadi kejadian namarultop i, sebelum kejadian marultop, Pinta Haomasan sudah lebih dahulu memberitahukan Tamba Tua apa yang telah dilakukan Tuan Sorba Dijulu ayahanda mereka, dengan rasa kekecewaan dan sedih akhirnya Tamba Tua dan adik-adiknya sepakat untuk pergi dari tanah Pangururan. Lalu di versi yang lain dikatakan setelah kejadian marultop, muncul lah perasaan dendam Si Bolon Tua terhadap Tamba Tua dimana dia telah membuat masalah akan siakkangan, padahal saat marultop telah terbukti Tamba Tualah yang berdarah kena ultop Si Bolon Tua, dan Si Bolon Tua berencana membunuh Tamba Tua, namun rencana Si Bolon Tua diketahui Pinta Haomasan, dan dengan segera Pinta Haomasan memberitahukannya pada Tamba Tua, akhirnya Tamba Tua sepakat pergi meninggalkan tanah Pangururan bersama adik-adiknya.

Perlu untuk kita ketahui kembali, Pinta Haomasan menikah dengan Raja Silahi Sabungan, dan Tamba Tualah yang menikahkan Pinta Haomasan dengan Raja Silahi Sabungan disaksikan Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua. Saat itu Si Bolon Tua terlalu sibuk dengan urusannya bersama Tuan Sorba Dijulu marmahan, berburu, mengadu kesaktian sehingga Tamba Tualah yang mangamai Pinta Haomasan saat itu, dimana posisi Tamba Tua sudah menikah dengan boru Malau Pase. Namun hari-hari kegiatan Pinta Haomasan banyak dihabiskan bersama ibotona karena Raja Silahi Sabungan yang mengadu kesaktian di luar tanah Pangururan dan jarang kembali. Keturunan dari Pinta Haomasan adalah Silalahi Raja. Namun setelah Silalahi Raja besar dia tidak lagi dapat berkumpul dengan tulangnya Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua dan Nahampun Tua dan anak-anak tulangnya, karena Tamba Tua dan adik-adiknya serta keturunannya sudah pergi dari tanah Pangururan, sehingga hanya tinggal Si Bolon Tua dan keturunannya lah yang tinggal di tanah Pangururan. Oleh karena itu, Silalahi Raja menikahi boru tulangnya dari Si Bolon Tua, dan itu terjadi piga-piga sundut mangalap boru tulangna Si Bolon Tua. Karena sudah beberapa sundut mengambil boru tulangnya dari Si Bolon Tua, maka dikatakanlah Silalahi Raja boru sihabolonan ni Simbolon, karena sudah mengambil dari atas boru Simbolon. Selebihnya pihak Silalahi Raja lah yang lebih mengetahuinya.

Back to the topic, akhirnya Tamba Tua dan adik-adiknya menemukan tanah baru yang cocok untuk ditempati bersama semua keturunannya dan keturunan adik-adiknya, diberilah nama huta itu huta Tamba. Disinilah dimulai parserahan marga-marga mayoritas PARNA. Setelah menempati kampung yang baru dan membangun kampung tersebut, Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua sepakat untuk menghambat Si Bolon Tua. Tamba Tua di huta Tamba-Samosir, Saragi Tua pergi ke Simalungun, Munthe Tua ke tanah Karo, dan Nahampun Tua ke Dairi. Namun belum diketahui apakah turut serta membawa keturunannya, namun berdasarkan tano parserahan marga-marga PARNA keturunan Saragi Tua, Munthe Tua, Nahampun Tua, keturunannya ada yang ikut dan ada yang tidak ikut. Saragi Tua memiliki 2 anak, Ompu Tuan Binur dan Raja Saragi, Saragi Tua membawa Raja Saragi ke tanah Simalungun sedangkan Ompu Tuan Binur tinggal di huta Tamba. Setelah tiba di tanah Simalungun, Raja Saragi menikah di tanah Simalungun dan memiliki keturunan, lama di tanah Simalungun Saragi Tua memutuskan kembali ke kampungnya di huta Tamba, namun Raja Saragi tidak ingin lagi kembali ke huta Tamba, tetapi salah satu keturunan Raja Saragi ikut bersama opungnya Saragi Tua kembali ke huta Tamba. Keturunan Raja Saragi yang tinggal di tanah Simalungun ini diketahui adalah cikal bakal marga Sumbayak, dan yang kembali ke huta Tamba adalah cikal bakal marga Sidabukke yang kemudian merantau ke Simanindo yang saat ini mayoritas bukanlah bagian dari punguan Parna lagi karena kejadian dimana cucu dari Raja Saragi yang bernama Raja Sinalin yang dari huta Tamba merantau ke Simanindo Sibatu-batu menikahi itonya sendiri boru Napitu. Dan hingga saat ini sudah banyak Sidabukke menikahi boru Parna, dan marga Parna sendiri menikahi boru Sidabukke, hanya minoritas yang mengatakan masih Parna. Mengapa begitu…?? Ini ada kisahnya sendiri mengapa sampai masih ada minoritas Sidabukke yang mengatakan Parna, akan dibahas di lain kesempatan. Ketika Saragi Tua kembali ke huta Tamba, keturunannya sudah merantau dari huta Tamba, dan menemukan tanah baru yang kelak dinamakan Huta Simarmata.

Lalu Munthe Tua dan anak seorang anaknya ikut ke tanah Karo, anak dari Munthe Tua ini diketahui adalah Ompu Jelak Karo yang akhirnya tidak mau kembali dan menetap di tanah Karo. Anak dari Munthe Tua sendiri ada tiga, Raja Sitempang, Ompu Jelak Maribur, dan Ompu Jelak Karo. Namun yang ikut ke huta Tamba hanyalah Ompu Jelak Maribur dan Ompu Jelak Karo, namun karena Ompu Jelak Karo mengikuti Munthe Tua ke tanah Karo namun enggan kembali, yang kembali hanya Munthe Tua ke tanah Tamba dan tinggalah Ompu Jelak Maribur beserta keturunannya. Lalu bagaimana dengan anaknya yang pertama Raja Sitempang…??

Raja Sitempang tidak ikut Munthe Tua dari tanah Pangururan ke huta Tamba disebabkan ketika Raja Sitempang lahir, Munthe Tua langsung mengasingkan Raja Sitempang jauh ke pusuk buhit, tidak ada yang tau akan hal ini. Sehingga ketika kejadian namarultop Raja Sitempang tidak tahu menahu akan hal tersebut. Sedikit tentang Raja Sitempang, Raja Sitempang diasingkan ke pusuk buhit, Raja Sitempang tidak tau sama sekali apa yang terjadi di kampung halamannya di Pangururan. Baik itu kejadian ultop, menikahnya namboru Pinta Haomasan dll. Raja Sitempang diasingkan oleh karena (sattabi sangap di ompui) cacat fisik yang dideritanya. Lama diasingkan dipusuk buhit, Raja Sitempang bertemu dengan seorang gadis yang juga ternyata diasingkan orangtuanya, gadis ini memiliki nasib yang sama dengan Raja Sitempang yang cacat fisik, Raja Sitempang tidak mengetahui siapa gadis ini yang adalah anak dari namboru kandungnya Pinta Haomasan, begitu juga dengan gadis tersebut tidak mengetahui Raja Sitempang adalah anak dari tulangnya Munthe Tua. Karena saling tidak mengetahui siapa masing-masing diri mereka, yang sebenarnya mereka ada sepupu kandung akhirnya mereka saling mengasihi dan menikah, namun tidak ada keturunan yang dihasilkan dari pernikahan ini. Dalam hal ini, Raja Sitempang satu level dengan Si Boru Marihan, yang adalah nama si gadis tersebut. Lama dipusuk buhit, tanpa ada yang tau persis penyebabnya, diketahui Raja Sitempang kembali normal seperti manusia biasanya. Dikatakan dia bersemedi di pusuk buhit meminta pada Mulajadi Nabolon untuk kesembuhannya dan Mulajadi Nabolon mengabulkannya. Bukan hanya sembuh, Raja Sitempang juga memiliki cukup kesaktian dalam dirinya. Setelah kenormalan fisik Raja Sitempang, dia memutuskan kembali ke kampung halamannya ke tanah Pangururan. Tanah Pangururan yang didatanginya tidak sama dengan tanah Pangururan yang telah lama ditinggalkannya, dia tidak lagi menemukan Munthe Tua, bapatuanya Saragi Tua, Tamba Tua dan bapaudanya Nahampun Tua yang dia temui hanyalah keturunan dari Si Bolon Tua.

NB : kisah Si boru Marihan pun masih menjadi simpang siur bila dikaitkan dengan versi Silalahi, namun kisah diatas diambil dari versi Sitanggang. Mohon maaf apabila dari pihak Silalahi menganggap ini salah, karena pada dasarnya penulis mengambil hanya mengaitkan dari versi Sitanggang saja. Dalam satu versi Raja Sitempang dan Siboru Marihan tidak memiliki anak, disatu sisi memiliki anak yang bernama Raja Hatorusan bukan Raja Natanggang.

Nahampun Tua pergi ke Dairi, diketahui hanya Nahampun Tualah yang tidak kembali lagi ke huta Tamba, Nahampun Tua lama dan menetap di Dairi. Namun ada 2 versi yang mengatakan, keturunan Nahampun Tua adalah si Onom Hudon, namun versi yang lebih sering diceritakan adalah Nahampun Tua tidak berketurunan anak laki-laki, hanya anak perempuan saja. Di tanah Dairi Nahampun mewariskan warisan, namun karena tidak memiliki anak laki-laki hanya anak perempuannyalah yang mengurus, atau bahkan rumah/tanah Nahampun Tua di Dairi tidak ada yang mengurus. Lama puluhan tahun kemudian, datanglah anak rantau ke tanah Dairi, Raja Huta setempat tentu menanyakan siapa gerangan anak rantau ini, setelah diketahu bahwasanya anak rantau ini adalah keturunan Si Bolon Tua maka Raja Huta pun mengatakan bahwa di tanah Dairi ini ada peninggalan opung anak rantau ini, opung yang adalah adik dari opung mereka Si Bolon Tua, dan Raja Huta mengatakan agar anak rantau ini menempati tanah warisan dan peninggalan Nahampun Tua. Diketahui anak rantau ini adalah keturunan Si Bolon Tua dari Tuan Nahoda Raja yang bernama Tuan Seul. Akhirnya Tuan Seul tinggal dan menetap di tanah Dairi, dan memiliki 7 keturunan anak laki-laki, diantaranya Simbuyak-buyak (meninggal), Tinambunan, Tumanggor, Maharaja, Turutan, Pinayungan dan Nahampun. Alasan Tuan Seul memberikan nama anak bungsu laki-lakinya Nahampun adalah sebagai bentuk penghormatan dan mengenang Nahampun Tua, karena saat ini Tuan Seul lah yang menempati dan menggunakan warisan serta peninggalan Nahampun Tua di tanah Dairi.

Namun tidak dapat dipastikan berapa lama Saragi Tua di Simalungun dan kembali ke huta Tamba, Munthe Tua di tanah Karo dan kembali ke huta Tamba, juga Nahampun Tua di tanah Dairi.

Dari kisah ultop diatas, adanya kata sepakat Simbolon Tua adalah haha doli Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua dan Nahampun Tua, sebab itulah poda ni da ompung Ompu Raja Nabolon, dipillit ompung i do Si Bolon Tua gabe Raja Jolona, Ido umbahen goar ni Tuan Sorba Dijulu ima Ompu Raja Nabolon.

Kembali pada kisah Raja Sitempang…

Raja Sitempang pulang ke tanah Pangururan dan tidak menemukan keluarganya, akhirnya Raja Sitempang memutuskan untuk mencari sembari mengadu kesaktian karena Raja Sitempang saat ini adalah seorang yang memiliki kesaktian dan tidak bercacat fisik seperti dulu ketika diasingkan. Ketika Raja Sitempang pulang ke tanah Pangururan, dia hanya dapat menemukan keturnan Si Bolon Tua yaitu Tuan Nahoda Raja yang adalah anak abangnya Suri Raja. Perbedaan umur Suri Raja dengan Raja Sitempang cukup jauh, dikarenakan Si Bolon Tua yang lahir lebih dulu jauh dibandingkan Munthe Tua, kemudian Raja Sitempang yang lama menikah karena lama diasingkan ke pusuk buhit mengakibatkan ketertinggalan umur yang cukup jauh.

Pergilah Raja Sitempang memulai perjalanannya, lama mencari namun tak kunjung dia temukan, alhasil tibalah Raja Sitempang di sebuah kampung di Dairi dikampung marga Mataniari, disana dia dijamu dan mengobati orang-orang yang sakit juga membela kampung tersebut dari peperangan (banyak cerita dan versi terkait ini). Karena jasanya, dan keakrabannya hal yang lumrah dijaman dulu adalah memberikan putri dari Raja Huta tersebut untuk dinikahi, disinilah Raja Sitempang menikahi si boru Porti Mataniari. Dalam versi Sitanggang, Tuan Sorba Dijulu digelari Datu Sindar Mataniari yang nama tersebut adalah nama ciri khas dari daerah Dairi, adapun gelar tersebut karena jasa-jasa yang telah dilakukan Raja Sitempang terhadap kampung tersebut, maka Raja Mataniari pun mengatakan Raja Sitempang adalah anak dari seorang datu yang hebat, muncullah gelar Datu Sindar Mataniari, keturunan datu (dukun) yang memberikan sinar pada kampung Mataniari (sinar disini adalah keberuntungan). Dinikahilah si boru Porti Mataniari, dan dibawa Raja Sitempang ke kampung halamannya. Raja Sitempang pun memutuskan menghentikan pencarian karena lama sudah tidak ditemukannya. Raja Sitempang sendiri setelah menikah dan mengetahui adat istiadat menyadari kalau dari ibu, mereka lebih sulung dibandingkan keturunan Si Bolon Tua, disinilah kemudian banyak muncul versi kembali. Apakah Raja Sitempang tidak mau membuka adat istiadat yang sudah terbiasa dilakukan apalagi setelah lama dia diasingkan ke pusuk buhit dan lama tidak kembali ke tanah Pangururan, dan versi dimana namborunya Pinta Haoamasan telah menceritakan kejadian yang terjadi di tanah Pangururan yang membuat Raja Sitempang pergi mencari ayahandanya. Karena itu Raja Sitempang tidak mau mengungkit kembali.

Di tanah Pangururan, si boru Porti Mataniari melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Raja Natanggang, disamping disaat itu di Pangururan Tuan Nahoda Raja pun sudah menikah dengan boru Tobing dan melahirkan anak laki-laki selang beberap tahun setelah Raja Natanggang lahir. Raja Natanggang bertumbuh besar dan menikahi boru Naibaho anak dari Raja Naibaho yang juga adalah penguasa di Pangururan (perlu kita ketahui, Pangururan itu besar dan luas). Raja Naibaho ini memiliki 2 orang putri, putri pertamanya dinikahi oleh Raja Natanggang. Setelah itu, anak Tuan Nahoda Raja menikahi boru Naibaho yang adalah adik kandung dari istri Raja Natanggang. Disini anak Tuan Nahoda Raja menjadi naik satu level dengan Raja Natanggang. Karena dari umur dan dari parparibanan, Raja Natanggang adalah abang dari anak Tuan Nahoda Raja ini. Tuan Nahoda Raja adalah siakkangan keturunan dari Simbolon Tua. Karena terbiasa selama ini jambar, ulos, pasu-pasu, yang selalu tampil dll diberikan terlebih dahulu kepada Simbolon Tua dan keturunannya, maka semenjak parpariban ini itu dipertanyakan Raja Natanggang, bagaimana bisa adiknya yang manjalo jambar dohot akka na asing…??. Ditambah Raja Natanggang tahu kalau dari parsonduk ni da opung Tuan Sorba Dijulu mereka dari istri pertama. Namun keturunan Simbolon Tua tidak menerima itu, disebabkan adat istiadat yang telah terbiasa dilakukan merekalah yang selalu menerima. Keturunan dari adik-adik Tuan Nahoda Raja protes kepada abang mereka, dan karena Tuan Nahoda Raja adalah sulung dari keturunan Simbolon Tua maka anak Tuan Nahoda Raja wajib menyampaikannya kepada Raja Natanggang. Perbedaan pendapat pun terjadi, hingga sampai ke telinga hula-hula Naibaho yang mertua dari Raja Natanggang dan anak Tuan Nahoda Raja ini. Dengan fungsinya sebagai hula-hula, siboan dame,  akhirnya kata damai lah yang diberikan sang mertua Raja Naibaho kepada kedua helanya agar tidak mempermasalahkan masalah tersebut, karena Raja Naibaho tau disatu sisi Raja Natanggang adalah siakkangan dari parparibanan, disatu sisi anak Tuan Nahoda Raja adalah siakkangan bila dilihat dari keturunan dan poda ni Ompu Raja Nabolon, maka keluarlah istilah Ipar-Ipar Partubu, rap marsihahaan rap marsianggian. Karena dari leluhur mereka dekat, namun kedekatan itu dipererat dengan sama-sama menikahi boru Naibaho, marabang ma anak ni Tuan Nahoda Raja tu Raja Natanggang, alana siakkangan pinompar ni Simbolon Tua manjou abang tu Raja Natanggang, gabe dohot ma akka angina manjou abang tu Raja Natanggang. Dan itu menjadi terbiasa hingga turun-temurun di kedua marga itu, untuk itu bila di Pangururan lebih digunakan istilah ise do parjolo tubu ima siakkangan sian ise parpudi tubu, marabang molo tu ise naparjolo tubu. Sama seperti di jaman sekarang, ada marga Napitu menikahi boru Damanik, dan marga Sidabutar menikahi boru Damanik yang adalah adik kandung dari boru Damanik yang dinikahi marga Napitu, dalam tutur Sidabutar tentu memanggil abang ke marga Napitu. Hal ini hamper banyak kita temui di lingkungan kekerabatan orang Batak.

Di satu sisi dari berbagai macam versi, ada juga yang mengatakan Raja Sitempang itu adalah gelar dari Munthe Tua, dimana Raja Natanggang adalah pahompunya, versi lain mengatakan Raja Sitempang adalah anak Tuan Sorba Dijulu, hanya saja dalam versi ini (versi Sitanggang) tidak ada Raja Batak, yang paling atas adalah Tuan Sorimangaraja dengan 2 anaknya Raja Isumbaon dan Guru Tatea Bulan, Raja Isumbaon memiliki 3 orang anak yaitu Tuan Sorba Dijulu (Datu Sindar Mataniari), Tuan Sorba Dijae, Tuan Sorba Dibanua. Tuan Sorba Dijulu memiliki 3 anak, Guru Sodungdangon (yang tidak jelas kisahnya), Raja Sitempang dan Raja Nabolon. Namun di Munas Sigalingging dimana Sigalingging adalah marga manjae Raja Sitempang memiliki silsilah yang berbeda dengan versi Sitanggang itu sendiri, namun sama dengan versi Parna pada umumnya, namun menjelang tahun 2005 keatas versi mereka bergeser mengikuti Sitanggang, dan direncanakan akan ada Re-Silsilah dan mengadakan Munas kedua kali di tahun 2017 mendatang (menurut info yang diketahui).
Hal ini memiliki keterkaitannya dengan Kapala-Kapala Nagari pemberian Belanda yang datang ke Samosir dengan mengumpulkan Raja-Raja Bius/Huta di Pangururan, namun ada Raja-Raja yang datang ada juga yang tidak bersedia datang namun tanpa sepengetahuan si Raja, adiknya mewakili dan lain-lainnya. Disinilah dimulainya orang Batak melek teknologi dan mengalami kemajuan, karena Raja-Raja yang datang tersebut selain diberi wilayah kekuasaan dan gelar Kapala Nagari, mereka juga diajarkan baca tulis dan pengetahuan lainnya seperti bercocok tanam yang baik, membuat keterampilan dan lain-lain, itu dapat kita lihat dimana ada marga-marga Batak yang maju, contohnya di Parna itu sendiri, marga-marga Simbolon dan Sitanggang adalah marga-marga yang orang-orangnya lebih dulu maju, terlihat dari jabatan, prestasi dan kemampuan mereka di berbagai bidang profesi. Karena sifat orang Batak, melihat dongan tubuna sukses, agar dapat dibantu terjadilah perubahan tutur, ini juga turut mempengaruhi, karena sukses dan agar dibantu yang butuh bantuan memanggil abang kepada yang sukses, dan yang sukses karena merupakan satu keuntungan terlepas dia tau partuturan atau tidak mereka biasanya hanya diam. Banyak sekali terjadi perubahan karena faktor politik (Kapala Nagari), ekonomi, status sosial dan lain-lain. Karena faktor-faktor tersebut dan semakin modernnya jaman, tidak lagi mempedulikan yang namanya partuturan yang penting asal bisa makan saja dulu. Namun lambat laun kemajuan teknologi itu akan merata, akan muncul orang-orang hebat dan sukses dari marga-marga yang jarang tampil di depan publik, dan mereka biasanya lambat laun memahami, menyadari adanya perubahan yang terjadi, sekalipun orang-orang tua telah menganut paham yang keliru dijaman mereka karena faktor kebutuhan untuk hidup di tanah perantauan. Ini akan dijelaskan di kisah Kapala Nagari di Tanah Batak.

Diringkas dari buku-buku tarombo, dan diskusi serta opini penulis. Yang dibuat penulis belumlah 100 % benar, adalah hanya gambaran dan versi pribadi penulis saja berdasarkan sumber-sumber yang bisa dipercaya.

Sebagai tambahan, banyak orang yang mengatakan semua orang berpatokan kepada tarombo yang dibuat oleh W.M. Hutalagung yang adalah antek-antek Belanda. Namun siapa orang tahu kalau W.M. Hutagalung itu punya maksud tidak baik atau adalah antek-anteknya Belanda…??? Lalu bagaimana kalau sebenarnya didalam hatinya di berniat baik karena mengetahui tujuan dari Belanda yang adalah mengacaubalakan Raja-Raja Huta agar mudah dipengaruhi dan mudah menguasai wilayah serta meluaskan ekspansi mereka hingga merata di seluruh Indonesia, karena W.M. Hutagalung menyadari tarombo adalah aset bagi bangsa Batak dan dibuatlah arsip olehnya. Bilamana W.M. Hutagalung adalah benar bermaksud tidak baik dan antek dari Belanda dan merestui tujuan Belanda yang dimana tujuan Belanda adalah untuk menguasai wilayah saja membuat benteng pertahanan di tiap-tiap wilayah dan mengacaubalaukan Raja-Raja Huta dengan memberikan fasilitas namun ada udang dibalik batu. Bila memang itu, tentu W.M. Hutagalung sudah menguatkan bukti fisik siakkangan Sitanggang yang adalah Kapala Nagari di Pangururan dengan mendukung versi Sitanggang, namun ini tidak.

Tidak ada yang tahun maksud dan tujuan di dalam hati W.M. Hutagalung, semuanya abu-abu, bukan berarti yang dibuatnya adalah benar 100%, mengingat menyusun itu membutuhkan waktu yang cukup lama dan harus berkeliling hingga keseluruhan wilayah Batak. Secara pribadipun tidak membernarkan, namun sebagai tambahan referensi dan acuan, dan tidak mungkin apabila semuanya adalah salah.

Dan satu hal yang perlu kita ketahui adalah, tidak pernah terjadinya peperangan di Pangururan, di tanah Batak peperangan yang terjadi kepada Belanda adalah peperangan di Tapanuli dengan Raja Sisingamangaraja, tidak pernah terjadi peperangan di Pangururan antara Raja Bius atau masyarakat Pangururan dengan Belanda, ini menunjukkan sistem Kapala Nagari yang telah berhasil diterapkan Belanda di Pangururan kepada mereka yang datang dari berbagai wilayah pada saat itu ke Pangururan.

(Christian Sidabutar)