Raja
NaiAmbaton atau yang dikenal dengan nama Tuan Sorba Dijulu adalah salah satu
dari 3 keturunan Tuan Sorimangaraja. Tuan Sorba Dijulu merupakan cikal bakal 'parsadaan'
marga-marga Batak terbesar dan terbanyak atau yang lebih dikenal dengan
keturunan Raja NaiAmbaton atau PARNA.
Raja
NaiAmbaton sendiri adalah gelar yang memiliki banyak arti dikalangan masyarakat
Batak terutama bagi keturunan NaiAmbaton sendiri. Disatu sisi penempatan kata
'Nai' adalah untuk perempuan, dll. Namun sama halnya dengan anak Tuan
Sorimangaraja seperti Tuan Sorimangaraja yang lain seperti Sorba Dijae
(NaiRasaon), Tuan Sorba Dibanua (NaiSuanon). Namun satu hal yang perlu ditelaah
adalah kesamaan dari 3 nama ini, dari 3 nama diatas, hanya NaiAmbatonlah yang
hingga saat ini tabu untuk saling menikahi, tidak seperti keturunan NaiRasaon
dan NaiSuanon yang sudah saling 'marsiolian'. Raja dari istrinya yang
bernama NaiAmbaton dialah Tuan Sorba Dijulu, Ompu Raja Nabolon. Dengan begitu
banyak versi, bukanlah jadi masalah penamaan Raja bagi NaiAmbaton, nama ini
sudah ada sebelum saya lahir, banyak kemungkinan bisa terjadi arti dari Raja di
penamaan NaiAmbaton, mungkin saja bila keturunan NaiRasaon tidak bisa saling
menikahi, bukan tidak mungkin hingga saat ini kita dengar parsadaan Raja
NaiRasaon, atau parsadaan Raja NaiSuanon.
Raja NaiAmbaton memiliki 5 orang putra dan 1 orang putri. Namun ke-6 anak-anak
Raja NaiAmbaton ini berasal dari 2 orang istri. Mengapa Raja NaiAmbaton
memiliki 2 orang istri...??. Dari istrinya yang pertama, setelah menikah Raja
NaiAmbaton, istri pertama lama memiliki keturunan, lama menanti akhirnya Raja
NaiAmbaton menikah kembali, dan dari pernikahan keduanya lahirlah tanpa waktu yang
lama seorang putra pertama bagi Raja NaiAmbaton, diberilah anak tersebut dengan
nama Raja Nabolon/Si Bolon Tua. Raja Nabolon memiliki arti tersendiri bagi Tuan
Sorba Dijulu, yang merupakan kelak keturunan-keturunannya akan menjadi besar,
dan itu terbukti saat ini keturunan Tuan Sorba Dijulu adalah keturunan kumpulan
marga-marga terbesar di marga Batak. Sejak setelah itulah Tuan Sorba Dijulu
lebih dikenal dengan nama Ompu Raja Nabolon. Kemudian dari istrinya yang kedua
kembali lahirlah seorang putri, yang diberi nama Pinta Haomasan. Di satu sisi
lama belum memiliki keturunan dari istri pertama, sedangkan dari istri kedua
sudah melahirkan 2 orang anak, mengandunglah istri pertama Tuan Sorba Dijulu
dan lahirlah seorang putra. Kegembiraan Tuan Sorba Dijulu dan syukur kepada
Mulajadi Nabolon yang mengaruniakannya 'hagabeon' dan kelengkapan
keturunan dari kedua istrinya serta menghapus kekhawatirannya selama ini.
Diberilah anak tersebut dengan nama Tamba Tua, yang memiliki arti bertambah
lengkaplah keturunannya, sedangkan kata 'Tua' pun bagi orang Batak
memiliki arti yang dalam dan bermakna. Setelah lahirnya Tamba Tua
berturut-turut istri pertama Tuan Sorba Dijulu melahirkan kembali 3 orang
putra, diberilah nama Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua.
Bagi
orang Batak, anak laki-laki sulung adalah si pembawa nama bagi keluarganya. Dan
apabila laki-laki menikahi 2 orang perempuan, keturunan dari istri pertamalah 'Raja
Jolo' bagi keturunan laki-laki orang Batak tersebut, sekalipun dari istri
kedua lebih dahulu memiliki keturunan dari istri pertama. Ini hampir terjadi
dihampir semua orang Batak, terlebih orang Batak dulu atau nenek moyang dari
masing-masing marga, hampir semua marga mengalami kisah yang sama terkait
masalah ini.
Bagi
Tuan Sorba Dijulu sendiri, inipun yang menjadi konflik bagi keturunannya. Kelak
ketika anak-anak Tuan Sorba Dijulu semakin besar dan semakin mengerti akan adat
budaya orang Batak, muncullah tanda tanya didalam pikiran masing-masing.
Terlebih apabila Tuan Sorba Dijulu tidak pernah menceritakan, menyelesaikan
sebelum anak-anak mereka mempermasalahkannya.
Terjadilah
konflik diantara anak-anak Tuan Sorba Dijulu, terutama diantara sulung dari
keturunan istri pertama dan kedua Tuan Sorba Dijulu yaitu antara Bolon Tua
dengan Tamba Tua, Bolon Tua yang lahir lebih dulu dari istri kedua Tuan Sorba
Dijulu telah dianggap sebagai sulung bagi Tuan Sorba Dijulu, Bolon Tua
merupakan kesayangan dari Tuan Sorba Dijulu, kemanapun Tuan Sorba Dijulu pergi
selalu mengajak anaknya Bolon Tua baik itu 'marmahan' atau berburu dan
lainnya. Tamba Tua yang merasa bahwa dalam adat seharusnya dialah Raja Jolo
karena dari istri pertama mempertanyakan hal itu kepada Tuan Sorba Dijulu dan
Bolon Tua. Hal ini disadari setelah mereka besar dan paham akan adat budaya
Batak, dimana pasti Si Bolon Tua lah yang memperoleh jambar ataupun ulos dll
dalam acara adat. Karena perselisihan ini semakin meruncing, maka Tuan Sorba
Dijulu dengan caranya menengahi Si Bolon Tua dan Tamba Tua dengan cara 'marultop'
adu ultop antara Si Bolon Tua dan Tamba Tua dengan catatan siapa yang berdarah
terkena ultop, maka dialah sianggian. Namun sebelum adu marultop
itu terjadi, Tuan Sorba Dijulu menumpulkan ultop Tamba Tua dan membuat
runcing/tajam ultop (anak panahnya) Si Bolon Tua. Mengapa Tuan Sorba Dijulu
melakukan ini...??. Ada banyak kemungkinan, karena dia lebih menyayangi Si
Bolon Tua, atau karena Si Bolon Tua adalah awal dari hagabeoni Tuan
Sorba Dijulu, atau karena malu apabila selama ini Tuan Sorba Dijulu dianggap
tidak mengerti adat karena selalu Si Bolon Tua lah yang menerima jambar/ulos
dll dalam setiap acara, atau mungkin inilah cara yang paling tepat agar
keturunannya berdamai, karena apabila Tamba Tua terbukti siakkangan, tentu
Saragi Tua, Munthe Tua, Nahampun Tua yang umurnya jauh sekali dari Si Bolon Tua
menjadi haha doli Si Bolon Tua, dan itu tentu membuat Si Bolon Tua menjadi
sedih atau mungkin marsak atau mungkin pergi meninggalkan atau hal-hal
lainnya. Kejadian marultop ini didengar oleh Saragi Tua, Munthe Tua, dan
Nahampun Tua juga Pinta Haomasan. Namun tak disangka, ketika Tuan Sorba Dijulu
menumpulkan ultop Tamba Tua dan membuat runcing ultop Si Bolon Tua, hal ini
dilihat oleh borunya Pinta Haomasan. Pinta Haomasan melihat semua yang
dilakukan ayahandanya Tuan Sorba Dijulu.
Terjadilah
adu ultop antara Si Bolon Tua dan Tamba Tua, dimana Tamba Tua lah yang berdarah
oleh ultop Si Bolon Tua. Setelah kejadian ini, ditemui Pinta Haomasan lah Tamba
Tua, dan memberitahukan kejadian tentang apa yang dilakukan ayah mereka Tuan
Sorba Dijulu terhadap ultop Tamba Tua. Lalu, apa alasan Pinta Haomasan
memberitahukan hal itu kepada Tamba Tua...?? Bukankah Si Bolon Tua adalah
saudara satu rahim ibu dengan Pinta Haomasan dibandingkan Tamba Tua...??.
Semenjak kecil, Si Bolon Tua selalu pergi bersama ayahnya, sedangkan Pinta
Haomasan bertugas mengurus adik-adiknya yang masih kecil termasuk Tamba Tua.
Dalam bahasa Bataknya dipatarus-tarus.
Perlu untuk kita ketahui, kejadian marultop terjadi ketika Si Bolon Tua, Tamba
Tua sudah magodang, termasuk Saragi
Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua. Semenjak muda dan belum menikah, tidak ada
permasalahan akan siakkangan, karena
sudah menikahlah baru kelihatan adat bagi orang Batak itu. Pembagian jambar,
ulos, pasu-pasu, dan yang selalu tampil saat itu selalu Si Bolon Tua, disinilah
mereka yang abang beradik itu baru mulai mempermasalahkannya, disaat mereka
mulai menyadari makna dan mengerti adat istiadat itu sendiri, ditambah
adik-adik Tamba Tua yang juga mulai menyadari dan mengerti, lalu disampaikan
pada haha dolinya Tamba Tua untuk mempertegas masalah ini ke Tuan Sorba Dijulu.
Jadi ke lima anak Tuan Sorba Dijulu sudah marhasohotan
sebelum beberapa anak-anaknya pergi dari Pangururan termasuk borunya si Pinta
Haomasan.
Kembali
pada cerita sebelumnya, diceritakan Pinta Haomasan lah kepada ibotona Tamba Tua
tentang apa yang telah diperbuat ayah mereka Tuan Sorba Dijulu. Tamba Tua
merasa kecewa sekali, dan hal ini diceritakanlah kepada adik-adiknya Saragi
Tua, Munthe Tua dan Nahampun Tua. Kemudian mereka sepakat untuk meninggalkan
Pangururan. Rencana inipun didengar oleh itonya Pinta Haomasan, dengan bersedih
hati karena rencana ito-itonya ini, Pinta Haomasan dating kerumah Tamba Tua dan
membawa sipanganon lao paborhaton ibotona, sebagai bentuk
tanda kasih sayang dan doa. Akhirnya pergilah Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe
Tua, dan Nahampun Tua dari tanah Pangururan dengan perasaan sedih.
Disamping
versi tersebut, ada versi lain yang mengatakan namun tidaklah berbeda jauh dari
kisah diatas. Dikisahkan tidak sampai terjadi kejadian namarultop i, sebelum kejadian marultop, Pinta Haomasan sudah lebih
dahulu memberitahukan Tamba Tua apa yang telah dilakukan Tuan Sorba Dijulu
ayahanda mereka, dengan rasa kekecewaan dan sedih akhirnya Tamba Tua dan
adik-adiknya sepakat untuk pergi dari tanah Pangururan. Lalu di versi yang lain
dikatakan setelah kejadian marultop, muncul lah perasaan dendam Si Bolon Tua
terhadap Tamba Tua dimana dia telah membuat masalah akan siakkangan, padahal
saat marultop telah terbukti Tamba Tualah yang berdarah kena ultop Si Bolon
Tua, dan Si Bolon Tua berencana membunuh Tamba Tua, namun rencana Si Bolon Tua
diketahui Pinta Haomasan, dan dengan segera Pinta Haomasan memberitahukannya
pada Tamba Tua, akhirnya Tamba Tua sepakat pergi meninggalkan tanah Pangururan
bersama adik-adiknya.
Perlu
untuk kita ketahui kembali, Pinta Haomasan menikah dengan Raja Silahi Sabungan,
dan Tamba Tualah yang menikahkan Pinta Haomasan dengan Raja Silahi Sabungan
disaksikan Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua. Saat itu Si Bolon Tua
terlalu sibuk dengan urusannya bersama Tuan Sorba Dijulu marmahan, berburu,
mengadu kesaktian sehingga Tamba Tualah yang mangamai Pinta Haomasan saat itu, dimana posisi Tamba Tua sudah
menikah dengan boru Malau Pase. Namun hari-hari kegiatan Pinta Haomasan banyak
dihabiskan bersama ibotona karena Raja Silahi Sabungan yang mengadu kesaktian
di luar tanah Pangururan dan jarang kembali. Keturunan dari Pinta Haomasan
adalah Silalahi Raja. Namun setelah Silalahi Raja besar dia tidak lagi dapat
berkumpul dengan tulangnya Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua dan Nahampun Tua
dan anak-anak tulangnya, karena Tamba Tua dan adik-adiknya serta keturunannya
sudah pergi dari tanah Pangururan, sehingga hanya tinggal Si Bolon Tua dan
keturunannya lah yang tinggal di tanah Pangururan. Oleh karena itu, Silalahi
Raja menikahi boru tulangnya dari Si Bolon Tua, dan itu terjadi piga-piga sundut mangalap boru tulangna Si
Bolon Tua. Karena sudah beberapa sundut
mengambil boru tulangnya dari Si Bolon Tua, maka dikatakanlah Silalahi Raja
boru sihabolonan ni Simbolon, karena sudah mengambil dari atas boru Simbolon.
Selebihnya pihak Silalahi Raja lah yang lebih mengetahuinya.
Back
to the topic, akhirnya Tamba Tua dan adik-adiknya menemukan tanah baru yang
cocok untuk ditempati bersama semua keturunannya dan keturunan adik-adiknya,
diberilah nama huta itu huta Tamba. Disinilah dimulai parserahan marga-marga mayoritas PARNA.
Setelah menempati kampung yang baru dan membangun kampung tersebut, Tamba Tua,
Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua sepakat untuk menghambat Si Bolon Tua.
Tamba Tua di huta Tamba-Samosir, Saragi Tua pergi ke Simalungun, Munthe Tua ke
tanah Karo, dan Nahampun Tua ke Dairi. Namun belum diketahui apakah turut serta
membawa keturunannya, namun berdasarkan tano
parserahan marga-marga PARNA keturunan Saragi Tua, Munthe Tua, Nahampun
Tua, keturunannya ada yang ikut dan ada yang tidak ikut. Saragi Tua memiliki 2
anak, Ompu Tuan Binur dan Raja Saragi, Saragi Tua membawa Raja Saragi ke tanah
Simalungun sedangkan Ompu Tuan Binur tinggal di huta Tamba. Setelah tiba di
tanah Simalungun, Raja Saragi menikah di tanah Simalungun dan memiliki
keturunan, lama di tanah Simalungun Saragi Tua memutuskan kembali ke kampungnya
di huta Tamba, namun Raja Saragi tidak ingin lagi kembali ke huta Tamba, tetapi
salah satu keturunan Raja Saragi ikut bersama opungnya Saragi Tua kembali ke
huta Tamba. Keturunan Raja Saragi yang tinggal di tanah Simalungun ini
diketahui adalah cikal bakal marga Sumbayak, dan yang kembali ke huta Tamba
adalah cikal bakal marga Sidabukke yang kemudian merantau ke Simanindo yang
saat ini mayoritas bukanlah bagian dari punguan Parna lagi karena kejadian
dimana cucu dari Raja Saragi yang bernama Raja Sinalin yang dari huta Tamba
merantau ke Simanindo Sibatu-batu menikahi itonya sendiri boru Napitu. Dan
hingga saat ini sudah banyak Sidabukke menikahi boru Parna, dan marga Parna
sendiri menikahi boru Sidabukke, hanya minoritas yang mengatakan masih Parna.
Mengapa begitu…?? Ini ada kisahnya sendiri mengapa sampai masih ada minoritas
Sidabukke yang mengatakan Parna, akan dibahas di lain kesempatan. Ketika Saragi
Tua kembali ke huta Tamba, keturunannya sudah merantau dari huta Tamba, dan
menemukan tanah baru yang kelak dinamakan Huta Simarmata.
Lalu
Munthe Tua dan anak seorang anaknya ikut ke tanah Karo, anak dari Munthe Tua
ini diketahui adalah Ompu Jelak Karo yang akhirnya tidak mau kembali dan
menetap di tanah Karo. Anak dari Munthe Tua sendiri ada tiga, Raja Sitempang,
Ompu Jelak Maribur, dan Ompu Jelak Karo. Namun yang ikut ke huta Tamba hanyalah
Ompu Jelak Maribur dan Ompu Jelak Karo, namun karena Ompu Jelak Karo mengikuti
Munthe Tua ke tanah Karo namun enggan kembali, yang kembali hanya Munthe Tua ke
tanah Tamba dan tinggalah Ompu Jelak Maribur beserta keturunannya. Lalu
bagaimana dengan anaknya yang pertama Raja Sitempang…??
Raja
Sitempang tidak ikut Munthe Tua dari tanah Pangururan ke huta Tamba disebabkan
ketika Raja Sitempang lahir, Munthe Tua langsung mengasingkan Raja Sitempang
jauh ke pusuk buhit, tidak ada yang tau akan hal ini. Sehingga ketika kejadian namarultop Raja Sitempang tidak tahu
menahu akan hal tersebut. Sedikit tentang Raja Sitempang, Raja Sitempang
diasingkan ke pusuk buhit, Raja Sitempang tidak tau sama sekali apa yang
terjadi di kampung halamannya di Pangururan. Baik itu kejadian ultop,
menikahnya namboru Pinta Haomasan dll. Raja Sitempang diasingkan oleh karena (sattabi sangap di ompui) cacat fisik
yang dideritanya. Lama diasingkan dipusuk buhit, Raja Sitempang bertemu dengan seorang
gadis yang juga ternyata diasingkan orangtuanya, gadis ini memiliki nasib yang
sama dengan Raja Sitempang yang cacat fisik, Raja Sitempang tidak mengetahui
siapa gadis ini yang adalah anak dari namboru kandungnya Pinta Haomasan, begitu
juga dengan gadis tersebut tidak mengetahui Raja Sitempang adalah anak dari
tulangnya Munthe Tua. Karena saling tidak mengetahui siapa masing-masing diri
mereka, yang sebenarnya mereka ada sepupu kandung akhirnya mereka saling
mengasihi dan menikah, namun tidak ada keturunan yang dihasilkan dari
pernikahan ini. Dalam hal ini, Raja Sitempang satu level dengan Si Boru
Marihan, yang adalah nama si gadis tersebut. Lama dipusuk buhit, tanpa ada yang
tau persis penyebabnya, diketahui Raja Sitempang kembali normal seperti manusia
biasanya. Dikatakan dia bersemedi di pusuk buhit meminta pada Mulajadi Nabolon
untuk kesembuhannya dan Mulajadi Nabolon mengabulkannya. Bukan hanya sembuh,
Raja Sitempang juga memiliki cukup kesaktian dalam dirinya. Setelah kenormalan
fisik Raja Sitempang, dia memutuskan kembali ke kampung halamannya ke tanah
Pangururan. Tanah Pangururan yang didatanginya tidak sama dengan tanah
Pangururan yang telah lama ditinggalkannya, dia tidak lagi menemukan Munthe
Tua, bapatuanya Saragi Tua, Tamba Tua dan bapaudanya Nahampun Tua yang dia
temui hanyalah keturunan dari Si Bolon Tua.
NB : kisah Si boru Marihan pun masih
menjadi simpang siur bila dikaitkan dengan versi Silalahi, namun kisah diatas
diambil dari versi Sitanggang. Mohon maaf apabila dari pihak Silalahi
menganggap ini salah, karena pada dasarnya penulis mengambil hanya mengaitkan
dari versi Sitanggang saja. Dalam satu versi Raja Sitempang dan Siboru Marihan
tidak memiliki anak, disatu sisi memiliki anak yang bernama Raja Hatorusan
bukan Raja Natanggang.
Nahampun
Tua pergi ke Dairi, diketahui hanya Nahampun Tualah yang tidak kembali lagi ke
huta Tamba, Nahampun Tua lama dan menetap di Dairi. Namun ada 2 versi yang
mengatakan, keturunan Nahampun Tua adalah si Onom Hudon, namun versi yang lebih
sering diceritakan adalah Nahampun Tua tidak berketurunan anak laki-laki, hanya
anak perempuan saja. Di tanah Dairi Nahampun mewariskan warisan, namun karena
tidak memiliki anak laki-laki hanya anak perempuannyalah yang mengurus, atau
bahkan rumah/tanah Nahampun Tua di Dairi tidak ada yang mengurus. Lama puluhan
tahun kemudian, datanglah anak rantau ke tanah Dairi, Raja Huta setempat tentu
menanyakan siapa gerangan anak rantau ini, setelah diketahu bahwasanya anak
rantau ini adalah keturunan Si Bolon Tua maka Raja Huta pun mengatakan bahwa di
tanah Dairi ini ada peninggalan opung anak rantau ini, opung yang adalah adik dari
opung mereka Si Bolon Tua, dan Raja Huta mengatakan agar anak rantau ini
menempati tanah warisan dan peninggalan Nahampun Tua. Diketahui anak rantau ini
adalah keturunan Si Bolon Tua dari Tuan Nahoda Raja yang bernama Tuan Seul.
Akhirnya Tuan Seul tinggal dan menetap di tanah Dairi, dan memiliki 7 keturunan
anak laki-laki, diantaranya Simbuyak-buyak (meninggal), Tinambunan, Tumanggor,
Maharaja, Turutan, Pinayungan dan Nahampun. Alasan Tuan Seul memberikan nama
anak bungsu laki-lakinya Nahampun adalah sebagai bentuk penghormatan dan
mengenang Nahampun Tua, karena saat ini Tuan Seul lah yang menempati dan
menggunakan warisan serta peninggalan Nahampun Tua di tanah Dairi.
Namun
tidak dapat dipastikan berapa lama Saragi Tua di Simalungun dan kembali ke huta
Tamba, Munthe Tua di tanah Karo dan kembali ke huta Tamba, juga Nahampun Tua di
tanah Dairi.
Dari
kisah ultop diatas, adanya kata sepakat Simbolon Tua adalah haha doli Tamba
Tua, Saragi Tua, Munthe Tua dan Nahampun Tua, sebab itulah poda ni da ompung Ompu Raja Nabolon, dipillit ompung i do Si Bolon Tua
gabe Raja Jolona, Ido umbahen goar ni Tuan Sorba Dijulu ima Ompu Raja Nabolon.
Kembali
pada kisah Raja Sitempang…
Raja
Sitempang pulang ke tanah Pangururan dan tidak menemukan keluarganya, akhirnya
Raja Sitempang memutuskan untuk mencari sembari mengadu kesaktian karena Raja
Sitempang saat ini adalah seorang yang memiliki kesaktian dan tidak bercacat
fisik seperti dulu ketika diasingkan. Ketika Raja Sitempang pulang ke tanah
Pangururan, dia hanya dapat menemukan keturnan Si Bolon Tua yaitu Tuan Nahoda
Raja yang adalah anak abangnya Suri Raja. Perbedaan umur Suri Raja dengan Raja
Sitempang cukup jauh, dikarenakan Si Bolon Tua yang lahir lebih dulu jauh
dibandingkan Munthe Tua, kemudian Raja Sitempang yang lama menikah karena lama
diasingkan ke pusuk buhit mengakibatkan ketertinggalan umur yang cukup jauh.
Pergilah
Raja Sitempang memulai perjalanannya, lama mencari namun tak kunjung dia
temukan, alhasil tibalah Raja Sitempang di sebuah kampung di Dairi dikampung
marga Mataniari, disana dia dijamu dan mengobati orang-orang yang sakit juga
membela kampung tersebut dari peperangan (banyak cerita dan versi terkait ini).
Karena jasanya, dan keakrabannya hal yang lumrah dijaman dulu adalah memberikan
putri dari Raja Huta tersebut untuk dinikahi, disinilah Raja Sitempang menikahi
si boru Porti Mataniari. Dalam versi Sitanggang, Tuan Sorba Dijulu digelari
Datu Sindar Mataniari yang nama tersebut adalah nama ciri khas dari daerah
Dairi, adapun gelar tersebut karena jasa-jasa yang telah dilakukan Raja
Sitempang terhadap kampung tersebut, maka Raja Mataniari pun mengatakan Raja
Sitempang adalah anak dari seorang datu yang hebat, muncullah gelar Datu Sindar
Mataniari, keturunan datu (dukun) yang memberikan sinar pada kampung Mataniari
(sinar disini adalah keberuntungan). Dinikahilah si boru Porti Mataniari, dan
dibawa Raja Sitempang ke kampung halamannya. Raja Sitempang pun memutuskan
menghentikan pencarian karena lama sudah tidak ditemukannya. Raja Sitempang
sendiri setelah menikah dan mengetahui adat istiadat menyadari kalau dari ibu,
mereka lebih sulung dibandingkan keturunan Si Bolon Tua, disinilah kemudian
banyak muncul versi kembali. Apakah Raja Sitempang tidak mau membuka adat
istiadat yang sudah terbiasa dilakukan apalagi setelah lama dia diasingkan ke
pusuk buhit dan lama tidak kembali ke tanah Pangururan, dan versi dimana
namborunya Pinta Haoamasan telah menceritakan kejadian yang terjadi di tanah
Pangururan yang membuat Raja Sitempang pergi mencari ayahandanya. Karena itu
Raja Sitempang tidak mau mengungkit kembali.
Di
tanah Pangururan, si boru Porti Mataniari melahirkan seorang anak laki-laki
yang diberi nama Raja Natanggang, disamping disaat itu di Pangururan Tuan
Nahoda Raja pun sudah menikah dengan boru Tobing dan melahirkan anak laki-laki
selang beberap tahun setelah Raja Natanggang lahir. Raja Natanggang bertumbuh
besar dan menikahi boru Naibaho anak dari Raja Naibaho yang juga adalah
penguasa di Pangururan (perlu kita ketahui, Pangururan itu besar dan luas). Raja
Naibaho ini memiliki 2 orang putri, putri pertamanya dinikahi oleh Raja
Natanggang. Setelah itu, anak Tuan Nahoda Raja menikahi boru Naibaho yang
adalah adik kandung dari istri Raja Natanggang. Disini anak Tuan Nahoda Raja
menjadi naik satu level dengan Raja Natanggang. Karena dari umur dan dari
parparibanan, Raja Natanggang adalah abang dari anak Tuan Nahoda Raja ini. Tuan
Nahoda Raja adalah siakkangan keturunan dari Simbolon Tua. Karena terbiasa
selama ini jambar, ulos, pasu-pasu, yang selalu tampil dll diberikan terlebih
dahulu kepada Simbolon Tua dan keturunannya, maka semenjak parpariban ini itu
dipertanyakan Raja Natanggang, bagaimana bisa adiknya yang manjalo jambar dohot akka na asing…??. Ditambah Raja Natanggang
tahu kalau dari parsonduk ni da opung Tuan
Sorba Dijulu mereka dari istri pertama. Namun keturunan Simbolon Tua tidak
menerima itu, disebabkan adat istiadat yang telah terbiasa dilakukan merekalah
yang selalu menerima. Keturunan dari adik-adik Tuan Nahoda Raja protes kepada
abang mereka, dan karena Tuan Nahoda Raja adalah sulung dari keturunan Simbolon
Tua maka anak Tuan Nahoda Raja wajib menyampaikannya kepada Raja Natanggang.
Perbedaan pendapat pun terjadi, hingga sampai ke telinga hula-hula Naibaho yang
mertua dari Raja Natanggang dan anak Tuan Nahoda Raja ini. Dengan fungsinya
sebagai hula-hula, siboan dame, akhirnya kata damai lah yang diberikan sang
mertua Raja Naibaho kepada kedua helanya agar tidak mempermasalahkan masalah
tersebut, karena Raja Naibaho tau disatu sisi Raja Natanggang adalah siakkangan dari parparibanan, disatu
sisi anak Tuan Nahoda Raja adalah siakkangan
bila dilihat dari keturunan dan poda
ni Ompu Raja Nabolon, maka keluarlah istilah Ipar-Ipar Partubu, rap marsihahaan rap marsianggian. Karena dari
leluhur mereka dekat, namun kedekatan itu dipererat dengan sama-sama menikahi
boru Naibaho, marabang ma anak ni Tuan
Nahoda Raja tu Raja Natanggang, alana siakkangan pinompar ni Simbolon Tua
manjou abang tu Raja Natanggang, gabe dohot ma akka angina manjou abang tu Raja
Natanggang. Dan itu menjadi terbiasa hingga turun-temurun di kedua marga
itu, untuk itu bila di Pangururan lebih digunakan istilah ise do parjolo tubu ima siakkangan sian ise parpudi tubu, marabang molo
tu ise naparjolo tubu. Sama seperti di jaman sekarang, ada marga Napitu
menikahi boru Damanik, dan marga Sidabutar menikahi boru Damanik yang adalah
adik kandung dari boru Damanik yang dinikahi marga Napitu, dalam tutur
Sidabutar tentu memanggil abang ke marga Napitu. Hal ini hamper banyak kita
temui di lingkungan kekerabatan orang Batak.
Di
satu sisi dari berbagai macam versi, ada juga yang mengatakan Raja Sitempang
itu adalah gelar dari Munthe Tua, dimana Raja Natanggang adalah pahompunya,
versi lain mengatakan Raja Sitempang adalah anak Tuan Sorba Dijulu, hanya saja
dalam versi ini (versi Sitanggang) tidak ada Raja Batak, yang paling atas
adalah Tuan Sorimangaraja dengan 2 anaknya Raja Isumbaon dan Guru Tatea Bulan,
Raja Isumbaon memiliki 3 orang anak yaitu Tuan Sorba Dijulu (Datu Sindar
Mataniari), Tuan Sorba Dijae, Tuan Sorba Dibanua. Tuan Sorba Dijulu memiliki 3
anak, Guru Sodungdangon (yang tidak jelas kisahnya), Raja Sitempang dan Raja
Nabolon. Namun di Munas Sigalingging dimana Sigalingging adalah marga manjae
Raja Sitempang memiliki silsilah yang berbeda dengan versi Sitanggang itu sendiri,
namun sama dengan versi Parna pada umumnya, namun menjelang tahun 2005 keatas
versi mereka bergeser mengikuti Sitanggang, dan direncanakan akan ada
Re-Silsilah dan mengadakan Munas kedua kali di tahun 2017 mendatang (menurut
info yang diketahui).
Hal
ini memiliki keterkaitannya dengan Kapala-Kapala Nagari pemberian Belanda yang
datang ke Samosir dengan mengumpulkan Raja-Raja Bius/Huta di Pangururan, namun
ada Raja-Raja yang datang ada juga yang tidak bersedia datang namun tanpa
sepengetahuan si Raja, adiknya mewakili dan lain-lainnya. Disinilah dimulainya
orang Batak melek teknologi dan mengalami kemajuan, karena Raja-Raja yang
datang tersebut selain diberi wilayah kekuasaan dan gelar Kapala Nagari, mereka
juga diajarkan baca tulis dan pengetahuan lainnya seperti bercocok tanam yang
baik, membuat keterampilan dan lain-lain, itu dapat kita lihat dimana ada
marga-marga Batak yang maju, contohnya di Parna itu sendiri, marga-marga
Simbolon dan Sitanggang adalah marga-marga yang orang-orangnya lebih dulu maju,
terlihat dari jabatan, prestasi dan kemampuan mereka di berbagai bidang
profesi. Karena sifat orang Batak, melihat dongan
tubuna sukses, agar dapat dibantu terjadilah perubahan tutur, ini juga turut mempengaruhi, karena sukses dan agar dibantu
yang butuh bantuan memanggil abang kepada yang sukses, dan yang sukses karena
merupakan satu keuntungan terlepas dia tau partuturan
atau tidak mereka biasanya hanya diam. Banyak sekali terjadi perubahan
karena faktor politik (Kapala Nagari), ekonomi, status sosial dan lain-lain.
Karena faktor-faktor tersebut dan semakin modernnya jaman, tidak lagi
mempedulikan yang namanya partuturan
yang penting asal bisa makan saja dulu. Namun lambat laun kemajuan teknologi
itu akan merata, akan muncul orang-orang hebat dan sukses dari marga-marga yang
jarang tampil di depan publik, dan mereka biasanya lambat laun memahami,
menyadari adanya perubahan yang terjadi, sekalipun orang-orang tua telah
menganut paham yang keliru dijaman mereka karena faktor kebutuhan untuk hidup
di tanah perantauan. Ini akan dijelaskan di kisah Kapala Nagari di Tanah Batak.
Diringkas dari buku-buku tarombo, dan
diskusi serta opini penulis. Yang dibuat penulis belumlah 100 % benar, adalah
hanya gambaran dan versi pribadi penulis saja berdasarkan sumber-sumber yang bisa
dipercaya.
Sebagai tambahan, banyak orang yang mengatakan
semua orang berpatokan kepada tarombo yang dibuat oleh W.M. Hutalagung yang
adalah antek-antek Belanda. Namun siapa orang tahu kalau W.M. Hutagalung itu
punya maksud tidak baik atau adalah antek-anteknya Belanda…??? Lalu bagaimana
kalau sebenarnya didalam hatinya di berniat baik karena mengetahui tujuan dari
Belanda yang adalah mengacaubalakan Raja-Raja Huta agar mudah dipengaruhi dan
mudah menguasai wilayah serta meluaskan ekspansi mereka hingga merata di
seluruh Indonesia, karena W.M. Hutagalung menyadari tarombo adalah aset bagi
bangsa Batak dan dibuatlah arsip olehnya. Bilamana W.M. Hutagalung adalah benar
bermaksud tidak baik dan antek dari Belanda dan merestui tujuan Belanda yang
dimana tujuan Belanda adalah untuk menguasai wilayah saja membuat benteng pertahanan
di tiap-tiap wilayah dan mengacaubalaukan Raja-Raja Huta dengan memberikan
fasilitas namun ada udang dibalik batu. Bila memang itu, tentu W.M. Hutagalung
sudah menguatkan bukti fisik siakkangan Sitanggang yang adalah Kapala Nagari di
Pangururan dengan mendukung versi Sitanggang, namun ini tidak.
Tidak
ada yang tahun maksud dan tujuan di dalam hati W.M. Hutagalung, semuanya
abu-abu, bukan berarti yang dibuatnya adalah benar 100%, mengingat menyusun itu
membutuhkan waktu yang cukup lama dan harus berkeliling hingga keseluruhan
wilayah Batak. Secara pribadipun tidak membernarkan, namun sebagai tambahan
referensi dan acuan, dan tidak mungkin apabila semuanya adalah salah.
Dan
satu hal yang perlu kita ketahui adalah, tidak pernah terjadinya peperangan di
Pangururan, di tanah Batak peperangan yang terjadi kepada Belanda adalah
peperangan di Tapanuli dengan Raja Sisingamangaraja, tidak pernah terjadi
peperangan di Pangururan antara Raja Bius atau masyarakat Pangururan dengan
Belanda, ini menunjukkan sistem Kapala Nagari yang telah berhasil diterapkan
Belanda di Pangururan kepada mereka yang datang dari berbagai wilayah pada saat
itu ke Pangururan.
(Christian
Sidabutar)